Baca Juga
"Ternyata belajar bersama bukan hanya tentang memahami rumus di buku, tapi juga tentang menemukan rumus kebahagiaan yang tak tertulis di mana pun." (Sumber foto: Arda Dinata).
Karya: Arda Dinata
FIKSI MINI - "Kadang, persamaan tersulit dalam hidup bukan yang ada di buku matematika, tapi yang ada di dalam hati."
"Kamu yakin mau belajar di rumahku?"
Anya menatapku dengan mata berbinar. Kami berdiri di depan gerbang rumahnya yang sederhana namun rapi.
"Tentu saja. Lagipula tugas kalkulus ini deadline-nya besok."
Dia tertawa kecil. "Oke, tapi jangan kaget ya kalau rumahku berantakan."
Ternyata rumahnya justru sangat tertata. Ruang tamu kecil dengan sofa biru muda, meja kayu yang sudah agak pudar, dan rak buku penuh novel-novel klasik.
"Mau teh atau kopi?" tanyanya sambil menuju dapur.
"Teh saja."
Aku duduk di sofa, membuka buku kalkulus tebal yang sudah penuh coretan. Dari dapur tercium aroma melati yang menenangkan.
"Kamu tahu tidak," kata Anya sambil membawa dua gelas teh, "nenek saya dulu bilang, kalau ada tamu cowok yang mau belajar di rumah, artinya dia serius dengan masa depannya."
"Atau serius dengan yang punya rumah," gumamku tanpa sadar.
Anya hampir tersedak teh. "Apa?"
Wajahku langsung memerah. "Eh, maksudku... serius dengan pelajarannya."
"Ohh." Dia tersenyum nakal. "Yaudah, mulai aja. Soal nomor berapa yang susah?"
Kami mulai mengerjakan soal integral. Anya duduk di sebelahku, cukup dekat hingga aku bisa mencium aroma shampo rambutnya. Setiap kali dia menjelaskan rumus, tangannya bergerak lincah di atas kertas.
"Lihat, kalau kita substitusi u = x + 1, maka du = dx..."
Aku berusaha fokus pada angka-angka, tapi mata terus melirik ke arah wajahnya yang serius. Ada sedikit kerutan di dahinya ketika sedang berpikir.
"Kamu mengerti?" tanyanya.
"Eh, bisa diulang?"
Dia tertawa. "Kamu ini kenapa sih? Dari tadi kayak melamun."
"Tidak apa-apa. Lanjutkan saja."
Jam menunjukkan pukul delapan malam ketika kami selesai dengan semua soal. Perut mulai keroncongan.
"Mau makan? Kebetulan ibu masak rendang."
"Boleh?"
"Tentu. Ibu pasti senang ada tamu."
Di meja makan, ibu Anya menyambut dengan ramah. Beliau bercerita tentang masa kuliahnya dulu, bagaimana susahnya belajar tanpa internet dan kalkulator canggih.
"Kalian beruntung sekarang ada teknologi. Tapi ingat, teknologi tidak bisa menggantikan kerja keras dan kejujuran," kata beliau sambil menyuapkan nasi.
"Betul, Bu. Makanya kami belajar bareng-bareng supaya saling membantu," jawab Anya.
Setelah makan, kami kembali ke ruang tamu untuk mengecek jawaban sekali lagi.
"Kamu hebat, Nya. Aku yang cowok malah kebanyakan salah hitungan."
"Ah, biasa aja. Lagipula belajar bareng itu lebih menyenangkan. Soalnya kalau salah, ada yang ngingetin."
Aku menatap jam dinding. Sudah hampir jam sepuluh.
"Aku pulang ya. Makasih sudah diajarin."
"Sama-sama. Eh, tunggu." Dia masuk ke kamar sebentar, lalu keluar dengan membawa sebuah buku tipis.
"Ini kumpulan rumus matematika buatan sendiri. Siapa tahu berguna."
Aku membuka buku itu. Di halaman pertama tertulis: "Untuk Dika, semoga tidak pusing lagi dengan angka-angka. - Anya"
"Kapan kamu bikinnya?"
"Dari minggu lalu. Habis lihat kamu kesusahan di kelas."
Hati rasanya hangat. "Terima kasih, Nya. Ini... sangat berarti."
Di perjalanan pulang, aku membaca-baca buku kecil itu. Setiap halaman ditulis dengan rapi, lengkap dengan contoh soal dan cara penyelesaiannya. Di halaman terakhir, ada tulisan kecil: "Matematika itu seperti perasaan. Rumit memang, tapi kalau sudah ketemu rumusnya, semuanya jadi indah."
Baru kemudian aku menyadari, selama ini Anya tidak hanya mengajariku matematika. Dia juga mengajariku bagaimana hati bekerja dengan rumus yang tidak pernah ada di buku mana pun.
Keesokan harinya, kami berdua mendapat nilai A untuk tugas kalkulus. Tapi yang lebih membahagiakan, aku akhirnya berani mengungkapkan rumus yang sudah lama tersimpan di hati.
"Ternyata belajar bersama bukan hanya tentang memahami rumus di buku, tapi juga tentang menemukan rumus kebahagiaan yang tak tertulis di mana pun."
Arda Dinata, lahir di Indramayu, 28 Oktober 1973, penyuka cerita fiksi mini, prosa dan pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia. Buku prosa terbarunya: Epos Aurora (novel, Juni 2024), Retakan (Kupcer, Maret 2025), dan Pecahan Cinta (Kupcer, Maret 2025). Kini bermukim di Pangandaran. Yuk baca cerpen karya Dinata di link ini: https://blog.ardadinata.com/search/label/Cerpen
***
Baca Juga
Jangan ragu untuk memberikan komentar di bawah ini dan mengikuti kami di saluran WhatsApp "ProduktifMenulis.com (Group)" dengan klik link ini: WhatsApp ProduktifMenulis.com (Group) untuk mendapatkan info terbaru dari website ini.
Arda Dinata adalah Penulis di Berbagai Media Online dan Penulis Buku, Aktivitas Kesehariannya Membaca dan Menulis, Tinggal di Pangandaran - Jawa Barat.