PAUD: Wadah Mengelola Masa Keemasan Anak

Wadah Mengelola Masa Keemasan Anak
Oleh Arda Dinata

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak berusia 0-6 tahun dalam aspek-aspek pendidikan, kesehatan dan perbaikan gizi. Usaha ini dilakukan oleh lembaga/ lingkungan yang terdiri dari keluarga, sekolah, lembaga-lembaga perawatan, keagamaan dan pengasuhan serta teman sebaya yang berpengaruh besar pada tumbuh kembang anak.

Para ahli psikologi perkembangan mengemukakan bahwa tumbuh kembang anak ditentukan oleh interaksi antara faktor bawaan dan faktor lingkungan. Adanya pengakuan orang tua, pendidikan, maupun lingkungan makro lainnya termasuk kebijakan pemerintah (keputusan) tentang upaya meningkatkan kualitas anak, merupakan faktor lingkungan yang mempunyai dampak langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan anak, namun perkembangan itu tetap dipengaruhi juga oleh sifat bawaan yang dimiliki anak.

Kondisi tumbuh kembang anak yang baik akan berpengaruh pada kualitas manusia (anak) di kemudian hari. Walaupun konsep kualitas manusia itu sendiri memang masih abstrak, akan tetapi menurut Juwono Sudarsono (1998), mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mengungkapkan bahwa kualitas manusia itu, ditandai dengan ciri-ciri: Pertama, cerdas, kreatif, terampil, terdidik dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, sehat dan berumur panjang. Ketiga, mandiri dan memiliki akses kehidupan yang layak.

Dalam hal ini, yang menentukan kualitas manusia tersebut adalah adanya pembinaan sejak usia dini menyangkut masalah kesehatan, nutrisi, dan stimulus intelektual. Maksudnya, kita tidak dapat mengutamakan hanya salah satu dimensinya saja. Tapi, penanganan ketiga dimensi tersebut (kesehatan, nutrisi dan intelektual) sudah harus dimulai sejak dalam kandungan (prenatal).

Oleh karena itu, upaya pembangunan anak melalui program PAUD, khususnya anak-anak di daerah tertinggal, kritis dan minus harus menjadi prioritas program PAUD. Masalah yang muncul saat ini adalah bagaimana agar program PAUD ini betul-betul mendukung Wajar Dikdas (wajib belajar pendidikan dasar) 9 tahun? Lalu, strategi dan peningkatan akses mutu layanan PAUD seperti apa yang perlu dilakukan guna terwujudnya anak sehat, cerdas, ceria dan berakhlak mulia, serta memiliki kesiapan memasuki jenjang pendidikan lebih lanjut?

Layanan PAUD

Saat ini, mutu hasil belajar dan efesiensi pelaksanaan pendidikan nasional masih belum memuaskan sebagaimana yang diharapkan. Sebagai contoh, masih rendahnya mutu hasil belajar dan masih adanya peserta didik yang drop out (DO), baik di SD maupun SLTP. Kondisi ini nampaknya masih memerlukan upaya untuk meningkatkan mutu dan efesiensinya.

Apalagi, berdasarkan serangkaian studi selama 30 tahun, terutama di Amerika Serikat, telah menunjukkan bahwa program pembinaan anak usia dini dapat memperbaiki prestasi belajar, baik di SD, SLTP; dapat meningkatkan produktifitas kerja dan penghasilan di masa depannya; serta mengurangi ketergantungannya kepada pelayanan kesehatan dan sosial (Soedijarto; 1998).
Atas dasar itu, maka untuk melaksanakan program wajar pendidikan dasar 9 tahun, serta upaya meningkatkan mutu relevansi dan efesiensi pendidikan nasional, maka adanya program PAUD menjadi suatu hal yang strategis dan penting dalam pembangunan pendidikan anak.

Namun demikian, saat ini kendala yang masih dirasakan dari program PAUD adalah adanya keterbatasan akses dan belum maksimalnya mutu layanan PAUD di masyarakat. Sebagai contoh, dari 4,5 juta anak usia 0-6 tahun di Jawa Barat baru sebanyak 14,28 persen yang terlayani pendidikan anak usia dini (PAUD), baik formal maupun nonformal. Oleh karena itu, target PAUD untuk sejuta anak di Jawa Barat atau 36,21 persen terasa amat berat jika tanpa peran serta semua lapisan masyarakat (Pikiran Rakyat, 26/6/07).

Sedangkan kondisi layanan PAUD sendiri, di Jawa Barat berdasarkan data kabupaten/ kota tahun 2005 menunjukkan cakupannya 370.565 anak (8,13 persen) untuk PAUD formal dan PAUD nonformal 370.565 anak (8,13 persen). Padahal, menurut Ketua Pelaksana Bermain dan Berlomba di Mapolda Jabar, Novillya Virginia, menyebutkan jumlah mereka di Jawa Barat 4,5 juta anak (PR, 26/6/07). Kondisi tersebut, penulis yakin, tidak jauh berbeda dengan keadaan di provinsi lainnya.
Sementara itu, untuk pelaksanaan kegiatan PAUD sendiri di masyarakat dilakukan melalui dua pendekatan. Pertama, PAUD formal dalam bentuk TK/ RA. Kedua, PAUD nonformal diantaranya berupa Kelompok Bermain (KB), Tempat Penitipan Anak (TPA), Posyandu, dan satuan PAUD sejenis lainnya.

Pengembangan PAUD

Suatu program dikatakan baik, bila dalam kegiatannya itu memperhatikan kondisi setempat dan melibatkan (baca: memanfaatkan) potensi yang ada di dalam masyarakat secara optimal. Begitu juga dengan program PAUD haruslah memperhatikan kedua aspek tersebut. Dengan kata lain, program PAUD harus dilakukan secara integral dengan program sejenis yang memiliki tujuan sama. Bila hal tersebut tidak dilakukan secara matang, maka bukannya dukungan dan simpati dari pihak lain yang didapat, tetapi justru sikap antipati dari kelompok masyarakat lainnya.

Hal faktual yang dapat menggambarkan kondisi seperti itu adalah apa yang terjadi di daerah Kab. Garut, Jawa Barat. Seperti diberitakan Surat Kabar Priangan (edisi 19-20 Juni 2007), kehadiran program PAUD di desa-desa Kab. Garut, dikeluhkan oleh sejumlah pengelola pendidikan taman kanak-kanak (TK). Dengan maraknya program itu dikhawatirkan akan mengancam keberadaan sekolah TK yang telah lama berdiri.

Selain itu, maraknya program PAUD, juga menimbulkan kecemburuan. Pasalnya, penyelenggaraan pendidikan PAUD mendapat bantuan dari pemerintah, sedangkan pendidikan TK tidak.
Menyikapi hal terakhir, hemat penulis, hal tersebut muncul kepermukaan dikarenakan masih kurangnya sosialisasi dan komunikasi terhadap adanya program PAUD secara integral dengan program sejenis yang ada di daerah tersebut (baca: masyarakat), seperti TK, RA, TPA, dan lainnya.
Artinya, kalau saja sosialisasi program PAUD itu dilakukan dengan baik dan benar, maka pengelola pendidikan semacam TK dan sejenisnya tidak perlu khawatir dan merasa terancam. Sebab, program PAUD sendiri diperuntukan bagi anak umur 2-4 tahun, sedangkan TK untuk anak 4-6 tahun. Walau pun pada kenyataannya, penulis melihat di lapangan pembagian ini kadang-kadang tidak betul-betul dipatuhi dan tidak ada perbeadaan yang berarti.

Sementara itu, kalau dilihat dari tujuannya, program PAUD bertujuan untuk mengenalkan pendidikan sejak usia dini dan diperuntukkan khusus menampung anak-anak dari keluarga kurang mampu. Sedangkan pendidikan di TK rata-rata dari kalangan keluarga mampu. Dan yang pasti siswa PAUD pun dibatasi hanya 30 anak, sedangkan TK pada umumnya tidak dibatasi.

Untuk itu, pengembangan program PAUD ini ke depan, harus jelas-jelas bersinergi dengan lembaga-lembaga sejenis lainnya, baik yang formal maupun nonformal. Pasalnya, pendidikan semacam TK dan program PAUD ini sesungguhnya adalah sama-sama untuk mengelola masa keemasan anak untuk mempersiapkan memasuki jenjang pendidikan lebih lanjut (baca: mendukung wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun). Di sinilah, kelihatannya harus dipersiapkan strategi yang tepat dari adanya program PAUD di masyarakat.

Strategi Peningkatan Akses

Pelaksanaan pembinaan anak usia dini di Indonesia, sesungguhnya selama ini telah dilakukan melalui berbagai upaya. Baik upaya secara langsung (seperti Tempat Penitipan Anak, Kelompok Bermain, dan Taman Kanak Kanak), maupun secara tidak langsung (Posyandu, Balai Keluarga Balita, dan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh PKK, KOWANI). Namun demikian, sayangnya pelayanan tersebut masih terpisah-pisah, belum tersikronisasi dan sinergik dengan baik, serta jumlahnya pun masih sangat terbatas jangkauannya.

Atas dasar fakta yang ada selama ini dan dikaitkan dengan sasaran program PAUD, maka alangkah baiknya bila strategi pelaksanaan yang diambil dalam program PAUD ini adalah lebih difokuskan pada pemberdayaan pendidikan anak usia dini melalui pendekatan nonformal, dan tentunya dengan tetap harus bersinergi serta berkoordinasi dengan lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini yang bersifat formal.

Untuk itu, secara pendekatan nonformal, langkah menyatukan Posyandu dan Balai Keluarga Balita dalam merealisasikan dari program PAUD adalah sesuatu hal yang realistis dan akan lebih meningkatkan angka pencapaian dari program PAUD. Dalam hal ini, paling tidak ada tiga strategi yang dapat dilakukan terkait dengan upaya peningkatan akses mutu layanan PAUD nonformal dalam mendukung wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.

Pertama, kegiatan penyatuan Posyandu dan BKB harus berimplikasi dalam wujud adanya satu pelayanan yang memberikan bimbingan masalah gizi dan kesehatan yang memadai bagi ibu dan anaknya, memberikan informasi tentang cara-cara mendidik dan memberdayakan anak usia dini secara benar.

Kedua, harus didukung dengan keterpaduan pada tingkat masyarakat. Yakni berupa fasilitas umum, kader, kurikulum dan pelatihan yang terintegrasi dengan baik. Dalam arti lain, Posyandu dan BKB itu harus disinergiskan dengan semua program yang memiliki tujuan pada kebutuhan anak umur 0-4 tahun dan atau dengan TK. Sehingga transisi dari rumah ke pelayanan PAUD sebelum masuk SD dapat berjalan lancar.

Di sini, pendidikan yang diperlukan bagi anak usia dini sebagai dasar untuk pendidikan selanjutnya, antara lain: pendidikan gerak tubuh & kinestetik; pendidikan untuk mengembangkan kemampuan verbal/ linguistik; dan pendidikan untuk mengembangkan kemampuan sosio emosional.

Ketiga, adanya program yang integral dalam hubungan birokrasi yang dilakukan oleh berbagai sektor dan departemen yang terkait dengan bidang pemberdayaan pendidikan anak usia dini dan kesejahteraan keluarga. Arti lainnya, adalah perlu adanya gerakan yang bersifat menyeluruh untuk mengembangkan program PAUD melalui KIE.

Sementara itu, Prof. Dr. Soedijarto (1998), dalam makalahnya berjudul: Pembinaan Perkembangan Anak Sejak Dini Sebagai Investasi Untuk Masa Depan, menyebutkan ada 7 pendekatan dan alternatif pelayanan yang dapat dilakukan untuk meningkatnya akses (jangkauan) dan mutu layanan dari program pembinaan pendidikan anak usia dini ini.

Pertama, pealayanan langsung kepada anak-anak melalui program penitipan anak, kelompok bermain, dan berbagai bentuk kelembagaan yang melayani anak secara langsung dan melembaga.

Kedua, pendidikan “caregives” baik orang tua (ibu), atau lembaga sukarela melalui program-program kunjungan dari rumah ke rumah, pendidikan keluarga, Posyandu, atau Balai Keluarga Balita.

Ketiga, peningkatan partisipasi masyarakat melalui program pemasyarakatan dengan melatih kader dan pemimpin seperti yang dilakukan di Malaysia dan Thailand.

Keempat, pengembangan kemampuan tenaga ahli dan semi ahli untuk memberikan model-model pembinaan yang dapat menarik perhatian dan memungkinkan motivasi masyarakat untuk mengikuti jejak model-model yang dikembangkan para ahli.

Kelima, peningkatan kesadaran masyarakat dan peningkatan tuntutan masyarakat perlunya program tersebut.

Keenam, mengembangkan jaringan kerja dalam masyarakat yang dapat mendukung terlaksananya suatu program, seperti ditetapkannya peraturan-peraturan yang secara tidak langsung mendorong atau memperkuat kemauan seluruh masyarakat untuk melaksanakan program pembinaan anak usia dini.
Ketujuh, mengembangkan kebijakasanaan nasional yang menjadi landasan terlaksananya program secara ajeg dan sinambung.

Akhirnya, melalui strategi dan usaha peningkatan akses mutu layanan PAUD seperti di atas, maka diharapkan keberadaan program PAUD ini dapat menjadi wadah dalam mengelola masa keemasan anak, serta memiliki kesiapan memasuki jenjang pendidikan lebih lanjut. Tepatnya, mendukung program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Wallahu’alam.***

Penulis, adalah pendidik dan blogger di Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam/ MIQRA Indonesia
BACA ARTIKEL LAINNYA:

Arda Dinata

Arda Dinata is a writer for various online media, lives in Pangandaran - West Java. www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education | | Source for Sharing Inspiration, Knowledge and Motivation for Success | World of Business, Business, Boss, Rich, Money, Dollars and Success |

Previous Post Next Post