|HOME |INSPIRASI |OPINI |KIAT |OPTIMIS |SEHAT |KELUARGA |IBROH |JURNALISTIK |BUKU |EBOOKS |JURNAL |LINGKUNGAN |SEHAT |PSIKOLOGI |WANITA |BISNIS |SYARIAH |PROFIL |ARDA TV|
- / / : 081284826829

Masalah Diverifikasi dan Ketahanan Pangan (3)

Masalah Diverifikasi dan Ketahanan Pangan (3)
Oleh ARDA DINATA

Pada edisi sebelumnya, Masalah Diverifikasi dan Ketahanan Pangan (1) dan Masalah Diverifikasi dan Ketahanan Pangan (2) kita telah bahas masalah ketahan pangan dan masalah dasar dari diversifikasi pangan.

Program diversifikasi pangan sebenarnya telah dikenal sejak puluhan tahun lalu. Yakni, sejak dikeluarkannya Inpres No. 14/1974, yang kemudian disempurnakan melalui Inpres No. 20/1979 tentang perbaikan menu makanan rakyat (PMMR). Namun, hingga saat ini belum menampakkan hasil maksimal.

Mengenai kesulitan/kendala itu, staf Ahli Bidang Pangan, Tien R Muchtadi mengatakan, kebijakan pemerintah tentang bahan pangan pokok seringkali dirasakan belum mendukung. Selain itu, belum memadainya teknologi yang mampu mendorong pengembangan diversifikasi pangan pokok non beras menjadi sebab lain.

Untuk itu, tahun 2002 Kementerian Riset dan Teknologi telah menyusun kebijakan dan menetapkan diversifikasi pangan pokok. Tujuannya adalah mendorong tercapainya diversifikasi pangan pokok sesuai daerah setempat yang pada akhirnya akan berkontribusi pada perekonomian dan pengembagan daerah masing-masing.

Untuk meminimisasi kendala program divesifikasi pangan tersebut, tentu juga perlu adanya transparansi antara pemerintah dengan kelompok sasaran program itu sendiri. Dengan kata lain, pemberian bimbingan dan bantuan yang diberikan hendaknya betul-betul sesuai dengan perencanaan dan juga memperhatikan sumber daya yang ada di daerah setempat.

Kriteria ketahanan pangan

Kecukupan pangan, secara sederhana diartikan sebagai kebutuhan harian yang paling sedikit memenuhi kebutuhan gizi, yaitu sumber kalori atau energi yang dapat berasal dari semua bahan pangan tetapi biasanya sebagian besar diperoleh dari karbohidrat dan lemak; sumber protein untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan penggantian jaringan; dan sumber vitamin serta mineral (Buckle, Food Science; 1985). Sedangkan konsep ketahanan pangan (food security) sedikit lebih luas dibandingkan dengan konsep swasembada pangan dan bahkan kemandirian pangan (Bustanul Arifin; 1997).

Setidaknya ada dua unsur pokok dalam ketahanan pangan ini, yaitu ketersediaan pangan dan aksesabilitas masyarakat terhadap bahan pangan tersebut. Kedua unsur ini tidak dapat dipisahkan, kalau kita mendambakan keadaan pangan nasional tidak ingin rapuh.

Ketersediaan pangan di sini, berarti menyangkut kuantitas dan kualitas bahan pangan itu sendiri, sehingga setiap individu dapat terpenuhi kebutuhan pangannya sesuai standar PPH. Adapun proses penyediaan pangan ini, dapat dipenuhi melalui produksi sendiri atau melakukan impor dari negara lain.

Sementara itu, menyangkut aksesabilitas masyarakat terhadap bahan pangan, menurut Bustanul Arifin bahwa ketahanan pangan (aksesabilitas) setiap individu dapat dijaga dan ditingkatkan melalui pemberdayaan sistem pasar serta mekanisme pemasaran yang efektif dan efesien. Yang juga dapat disempurnakan melalui kebijakan tata niaga atau distribusi bahan pangan dari sentra produksi sampai ke tangan konsumen. Akses individu ini dapat pula ditopang oleh intervensi kebijakan harga yang memadai, menguntungkan, dan memuaskan berbagai pihak yang terkait.

Adapun yang menetukan ketahanan pangan suatu negara, FAO memberikan beberapa kriteria yang dapat diakses oleh setiap negara, yaitu: (1) Tingginya proporsi penduduk yang kekurangan pangan. (2) Tingginya proporsi kekurangan energi (protein) dari rata-rata kebutuhan energi yang dimasyarakatkan (food gap). (3) Besarnya indeks Gini dari Food gap konsumsi energi (protein). Dan (4) besarnya koefesiensi variasi konsumsi protein (energi).

Akhirnya, untuk mencapai kemandirian dan ketahanan pangan nasional, syaratnya tidak lain adalah kita harus percaya diri terhadap kekayaan alam yang dimiliki bangsa Indonesia. Dan kita hendaknya berusaha menjaga setiap aset bangsa, bukan lantas merusaknya apalagi sampai “menggadaikan” pada negara lain. Bagaimana menurut Anda?

Penulis adalah dosen tutor di Akademi Kesehatan Lingkungan [AKL] Kutamaya dan bekerja di Loka Litbang P2B2 Ciamis, Balitbangkes Depkes. R.I.
WWW.ARDADINATA.COM