Korupsi adalah satu-satunya industri di Indonesia di mana hukum ekonomi tidak berlaku: semakin tinggi risikonya, semakin banyak peminatnya. (Sumber foto: istimewa).
Oleh: Arda Dinata
FEATURE HARIAN - "Di negeri ini, korupsi bukanlah kejahatan. Ia adalah seni yang diajarkan turun-temurun, seperti membatik atau mengukir kayu."
Di sebuah negeri antah berantah yang kebetulan bernama Indonesia, ada sebuah industri yang tidak pernah mengenal krisis ekonomi. Tidak pernah terdampak resesi. Tidak pernah kekurangan modal.
Industri itu bernama korupsi.
Sebuah pertunjukan akbar. Dengan pemain yang tak pernah habis. Dengan penonton yang selalu bertepuk tangan. Dengan sutradara yang berganti-ganti.
Aneh memang.
Tapi begitulah adanya.
Di negeri ini, korupsi adalah pertambangan kantong yang tidak pernah kehabisan cadangan. Tambang emas yang tak perlu izin eksplorasi. Yang keuntungannya hanya untuk sebagian kecil penambang berjas dan berdasi.
Kita semua menonton. Seperti menonton sinetron bersambung. Episode demi episode. Kasus demi kasus. Tanpa pernah bosan.
Ada penggelapan dana bantuan sosial. Ada markup proyek infrastruktur. Ada suap perizinan. Ada gratifikasi. Ada pencucian uang.
Semua tersaji lengkap. Seperti menu prasmanan di pesta pernikahan pejabat.
Menurut data Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2023 berada di peringkat 110 dari 180 negara. Sebuah prestasi yang memalukan. Tapi kita sudah kebal malu.
Studi dari Indonesia Corruption Watch menunjukkan bahwa kerugian negara akibat korupsi dalam lima tahun terakhir mencapai Rp 39,2 triliun. Sebuah angka yang bisa membangun 7.840 sekolah dasar. Atau 1.568 puskesmas. Atau 392 kilometer jalan tol.
Tapi uang itu menguap. Seperti ditelan bumi. Seperti disulap pesulap amatir yang kebingungan menjelaskan triknya ketika tertangkap tangan.
Saya teringat masa kecil. Ketika guru SD mengajarkan tentang pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan. Tanpa bayaran. Tanpa pamrih. Hanya untuk negeri.
Sekarang? Kita menyaksikan pahlawan-pahlawan devisa yang berjuang untuk kantong sendiri. Yang rela bermandikan keringat rakyat demi kolam renang di halaman belakang rumahnya.
Korupsi di negeri ini seperti pertunjukan wayang. Ada dalangnya. Ada wayangnya. Ada penontonnya. Tapi entah siapa yang sebenarnya mengendalikan permainan.
Hanya saja, dalam pertunjukan ini, tidak ada lakon Bima atau Arjuna yang membela kebenaran. Yang ada hanya Limbuk dan Cangik yang sibuk berebut kekayaan.
Ketika tertangkap, mereka menangis di depan kamera. Seperti aktor telenovela yang sedang memainkan adegan klimaks. Air mata buaya yang tidak mengundang simpati. Hanya mengundang tawa getir.
Data dari Mahkamah Agung mencatat bahwa 60% terpidana korupsi hanya mendapat hukuman di bawah 4 tahun penjara. Seperti liburan singkat dengan fasilitas hotel berbintang tiga. Dengan kemungkinan remisi dan pembebasan bersyarat.
Saya pernah menghadiri sidang kasus korupsi di pengadilan. Terdakwanya tersenyum. Seperti sedang menghadiri reuni. Jaksa dan pengacara berbisik-bisik. Seperti sedang merencanakan makan siang bersama. Hakim mengetuk palu. Seperti sedang memimpin lelang barang sitaan.
Sebuah teater absurd. Yang tiketnya dibayar dengan uang rakyat.
Kita sering mendengar slogan "Bersama Kita Berantas Korupsi". Slogan yang indah. Yang dipasang di spanduk-spanduk. Yang dicetak di poster-poster. Yang diucapkan dalam pidato-pidato.
Tapi korupsi tetap subur. Seperti tanaman liar yang tidak perlu disiram.
Lembaga antikorupsi kita seperti pemadam kebakaran yang hanya boleh membawa segelas air. Yang truknya sering kehabisan bensin di tengah jalan. Yang selangnya bocor di sana-sini.
Bagaimana mungkin api korupsi bisa dipadamkan?
Jurnal Governance and Policy Reform tahun 2023 menyimpulkan bahwa korupsi di Indonesia telah menjadi "kejahatan terorganisir" dengan jaringan yang melibatkan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan sektor swasta. Seperti sindikat mafia dalam film Hollywood. Hanya saja lebih canggih. Dan lebih licin.
Mungkin kita perlu bertanya: siapa sebenarnya yang harus disalahkan?
Para koruptor? Tentu. Sistem yang lemah? Jelas. Penegak hukum yang tidak tegas? Sudah pasti.
Tapi bagaimana dengan kita? Masyarakat yang sering menutup mata. Yang kadang ikut berkompromi dengan ketidakjujuran kecil-kecilan. Yang menganggap "uang pelicin" sebagai hal wajar.
Kita semua adalah bagian dari pertunjukan ini. Entah sebagai penonton yang diam. Atau sebagai figuran yang ikut bermain.
Mungkin inilah saatnya kita berhenti menonton. Dan mulai membuat skenario baru. Skenario di mana korupsi bukan lagi industri yang menguntungkan. Di mana kejujuran bukan lagi barang langka.
Seperti kata pepatah: "Seekor ikan busuk dari kepala". Tapi ingatlah, yang membiarkan kepala itu tetap busuk adalah kita semua.
"Korupsi adalah satu-satunya industri di Indonesia di mana hukum ekonomi tidak berlaku: semakin tinggi risikonya, semakin banyak peminatnya."
Arda Dinata adalah Blogger, Peneliti, Penulis, dan Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.|HOME |INSPIRASI |OPINI |KIAT |OPTIMIS |SEHAT |KELUARGA |IBROH |JURNALISTIK |BUKU |EBOOKS |JURNAL |LINGKUNGAN |SEHAT |PSIKOLOGI |WANITA |BISNIS |SYARIAH |PROFIL |ARDA TV|
www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education |