Baca Juga
"Masa depan suatu bangsa tidak ditentukan oleh kekayaan alamnya, melainkan oleh kualitas generasi mudanya. Stunting adalah pencuri masa depan yang harus kita lawan bersama-sama." (Sumber foto: Istimewa).
Oleh: Arda Dinata
FEATURE - Ketika Angka 19,8 Bercerita: Sebuah Potret Kemenangan Kecil dalam Perang Melawan Stunting.
Angka stunting Indonesia turun jadi 19,8% tahun 2024. Namun di balik pencapaian ini, masih ada 4,4 juta balita yang butuh perhatian khusus.
Hashtag: #StuntingIndonesia #SSGI2024 #GenerasiSehat #PercepataanStunting
"Setiap angka dalam statistik kesehatan adalah cerita tentang kehidupan. Di balik penurunan 1,7 persen prevalensi stunting, tersimpan harapan jutaan keluarga untuk masa depan yang lebih baik."
Pagi itu, Auditorium Siwabessy di Gedung Kementerian Kesehatan Jakarta Selatan terasa berbeda. Suara tepuk tangan mengalun ketika Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengumumkan angka yang ditunggu-tunggu: 19,8 persen. Angka stunting nasional Indonesia untuk tahun 2024 berhasil turun dari 21,5 persen di tahun sebelumnya.
Di antara barisan kursi, beberapa peneliti mengangguk puas. Para akademisi tampak mencatat dengan seksama. Namun di balik euforia kecil itu, masih terbersit kegelisahan yang sama: target 14 persen yang pernah dicanangkan untuk 2024 tampak semakin jauh.
Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 memang patut disyukuri. Penurunan dari 21,5 persen pada 2023 menjadi 19,8 persen pada 2024 menunjukkan bahwa upaya bersama selama ini tidak sia-sia. Namun, jika kita jujur pada diri sendiri, angka ini masih menyisakan pertanyaan besar: apakah Indonesia benar-benar siap menghadapi tantangan masa depan?
Potret di Balik Angka Statistik
Angka 19,8 persen berarti masih ada 4.482.340 balita Indonesia yang mengalami stunting. Bayangkan, hampir 4,5 juta anak-anak kecil yang tinggi badannya tidak sesuai dengan usianya. Mereka tersebar di berbagai pelosok Nusantara, dari Sabang sampai Merauke.
Dr. Liza Amelia, peneliti gizi dari Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan, pernah mengatakan dengan nada prihatin, "Untuk dapat mencapai 14% di tahun 2024 perlu penurunan secara rata-rata sebesar 3,8% per tahun." Kenyataannya, penurunan tahun ini hanya 1,7 persen.
Realita ini mengingatkan kita bahwa stunting bukan sekadar soal angka. Ia adalah cermin dari kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Stunting adalah akibat dari kemiskinan, ketidaktahuan, akses terbatas terhadap makanan bergizi, dan sistem kesehatan yang belum optimal.
Mengurai Benang Kusut Masalah
Perjalanan penurunan stunting di Indonesia memang tidak mudah. Dari 24,4 persen di tahun 2021 menjadi 21,6 persen di 2022, lalu turun lagi menjadi 21,5 persen di 2023, dan kini 19,8 persen di 2024. Tren menurun memang konsisten, tapi kecepatannya tidak sesuai harapan.
Yang menarik, pemerintah Indonesia telah merevisi target stunting untuk 2024 menjadi kurang dari 20 persen, dibandingkan dengan target awal 14 persen. Keputusan ini pragmatis, namun juga menunjukkan betapa kompleksnya persoalan stunting di tanah air.
Enam provinsi dengan angka stunting terbesar adalah Jawa Barat (638.000 balita), Jawa Tengah (485.893 balita), Jawa Timur (430.780 balita), Sumatera Utara (316.456 balita), dan Nusa Tenggara Timur. Angka-angka ini mencerminkan tantangan geografis dan demografis yang harus dihadapi.
Program 11 Intervensi: Secercah Harapan
Pemerintah tidak tinggal diam. Program 11 intervensi khusus telah dirancang untuk mempercepat penurunan stunting. Mulai dari edukasi gizi remaja putri, perawatan ibu hamil, hingga pemantauan tumbuh kembang anak. Semuanya dirancang sebagai mata rantai yang saling terkait.
"Kami fokus pada masa 1.000 hari pertama kehidupan," kata seorang petugas kesehatan di Puskesmas Jakarta Timur yang enggan disebutkan namanya. "Dari remaja putri yang akan menikah, ibu hamil, ibu menyusui, sampai anak berusia dua tahun. Semuanya harus dipantau ketat."
Pendekatan ini tidak salah. Stunting memang masalah multidimensi yang membutuhkan intervensi holistik. Bukan hanya soal makanan, tapi juga sanitasi, pendidikan, akses kesehatan, dan budaya masyarakat.
Ironi di Negeri Gemah Ripah
Indonesia, negara yang dikenal sebagai "gemah ripah loh jinawi", ternyata masih bergulat dengan masalah gizi. Ironi ini seharusnya membuat kita semua tersentak. Di tengah kelimpahan sumber daya alam, masih ada jutaan anak yang tidak mendapat gizi memadai.
Problem ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan top-down dari pemerintah pusat. Butuh keterlibatan aktif pemerintah daerah, masyarakat sipil, dan yang paling penting: keluarga sebagai unit terkecil masyarakat.
Seorang ibu di Kampung Rambutan, Jakarta Timur, bercerita dengan mata berkaca-kaca, "Anak saya lahir kecil, sekarang umur dua tahun masih pendek. Saya sudah berusaha kasih makan yang baik, tapi apa daya penghasilan suami tidak mencukupi."
Cerita seperti ini tersebar di berbagai penjuru Indonesia. Kemiskinan dan stunting memang erat kaitannya. Data menunjukkan bahwa prevalensi stunting lebih tinggi di daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi.
Menatap Masa Depan dengan Realistis
Pencapaian penurunan stunting ke 19,8 persen memang patut diapresiasi. Namun, kita tidak boleh terlena. Target untuk tahun 2025 adalah penurunan menjadi 18,8 persen. Ini berarti masih butuh kerja keras luar biasa.
Tantangan ke depan semakin kompleks. Perubahan iklim yang mempengaruhi produksi pangan, urbanisasi yang mengubah pola konsumsi, dan kesenjangan ekonomi yang masih lebar. Semua ini berpotensi mempengaruhi upaya penurunan stunting.
Yang dibutuhkan bukan hanya program jangka pendek, tapi transformasi sistemik. Mulai dari perbaikan sistem pangan nasional, penguatan ekonomi keluarga, hingga peningkatan literasi gizi masyarakat.
Pelajaran dari Negara Lain
Peru, negara yang berhasil menurunkan stunting dari 31 persen menjadi 12,1 persen dalam 15 tahun, memberikan inspirasi. Kunci sukses mereka adalah komitmen politik jangka panjang, koordinasi lintas sektor yang solid, dan program yang tepat sasaran.
Brasil juga menunjukkan hasil menggembirakan dengan program Bolsa FamÃlia yang mengombinasikan bantuan sosial dengan edukasi gizi. Hasilnya, stunting turun drastis dalam waktu relatif singkat.
Indonesia bisa belajar dari pengalaman negara-negara ini. Yang diperlukan adalah political will yang konsisten, tidak terpengaruh pergantian kepemimpinan, dan koordinasi yang solid antara berbagai kementerian dan lembaga.
Refleksi untuk Bangsa
Stunting bukan hanya masalah kesehatan, tapi juga masalah kemanusiaan dan masa depan bangsa. Anak-anak yang mengalami stunting berpotensi memiliki kecerdasan yang terbatas, produktivitas ekonomi yang rendah, dan kualitas hidup yang kurang optimal.
Dalam konteks bonus demografi yang sedang dialami Indonesia, stunting bisa menjadi bumerang. Alih-alih menjadi modal pembangunan, generasi muda yang mengalami stunting justru bisa menjadi beban negara.
"Investasi pada gizi anak adalah investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa," kata Prof. Rini Sekartini, pakar gizi anak dari Universitas Indonesia. "Setiap rupiah yang dikeluarkan untuk pencegahan stunting akan menghasilkan return ekonomi berkali-kali lipat."
Angka 19,8 persen dalam SSGI 2024 memang memberikan secercah harapan. Namun, di balik angka itu masih ada jutaan cerita anak-anak yang belum tersentuh program pemerintah. Mereka menunggu uluran tangan, tidak hanya dari negara, tapi juga dari kita semua.
Perjuangan melawan stunting adalah perjuangan melawan ketidakadilan. Setiap anak Indonesia berhak tumbuh dengan optimal, terlepas dari latar belakang ekonomi dan sosial keluarganya. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi tanggung jawab kolektif sebagai bangsa.
"Masa depan suatu bangsa tidak ditentukan oleh kekayaan alamnya, melainkan oleh kualitas generasi mudanya. Stunting adalah pencuri masa depan yang harus kita lawan bersama-sama."
Wallahu a'lam...
Arda Dinata, adalah Blogger, Peneliti, Penulis Buku dan Pendiri Majelis Inspirasi MIQRA Indonesia.
Daftar Pustaka
Indonesia.go.id. (2024). SSGI 2024: Prevalensi stunting nasional turun menjadi 19,8 persen di 2024. Retrieved from https://indonesia.go.id/kategori/sosial-budaya/9430/ssgi-2024-prevalensi-stunting-nasional-turun-menjadi-19-8-persen-di-2024
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. (2024). Prevalensi stunting tahun 2024 turun jadi 19,8 persen, pemerintah terus dorong penguatan gizi nasional. Retrieved from https://www.kemenkopmk.go.id/prevalensi-stunting-tahun-2024-turun-jadi-198-persen-pemerintah-terus-dorong-penguatan-gizi
Sehat Negeriku Kemkes. (2024). SSGI 2024: Prevalensi stunting nasional turun menjadi 19,8%. Retrieved from https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/umum/20250526/2247848/ssgi-2024-prevalensi-stunting-nasional-turun-menjadi-198/
Liputan6. (2024). Kemenkes rilis hasil survei status gizi Indonesia 2024: Angka stunting turun jadi 19,8 persen. Retrieved from https://www.liputan6.com/health/read/6034565/kemenkes-rilis-hasil-survei-status-gizi-indonesia-2024-angka-stunting-turun-jadi-198-persen
ANTARA News. (2024, June 29). Indonesia revises 2024 stunting rate target to under 20 percent. Retrieved from https://en.antaranews.com/news/317238/indonesia-revises-2024-stunting-rate-target-to-under-20-percent
***
Arda Dinata adalah Blogger, Peneliti, Penulis, dan Pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.|HOME |INSPIRASI |OPINI |KIAT |OPTIMIS |SEHAT |KELUARGA |IBROH |JURNALISTIK |BUKU |EBOOKS |JURNAL |LINGKUNGAN |SEHAT |PSIKOLOGI |WANITA |BISNIS |SYARIAH |PROFIL |ARDA TV|
www.ArdaDinata.com: | Share, Reference & Education |