Silaturahmi, Panjang Usia dan Rizki
Oleh: ARDA DINATA
“MAUKAH kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada shalat dan shaum?” tanya Rasulullah Saw. kepada sahabat-sahabatnya.
“Tentu saja,” jawab mereka.
Rasulullah kemudian menjelaskan, “Engkau damaikan yang bertengkar, menyambung persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan ukhuwwah di antara mereka adalah amal shaleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rizkinya, hendaklah ia menyambung persaudaraan.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Kegiatan silaturahim ini akan terasa sekali pada bulan Syawal atau sesudah Idul Fitri, bila dibandingkan pada bulan lainnya. Padahal, pemahaman silaturahmi itu tidak membedakan bulan dan situasional.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, silaturahmi diartikan persaudaraan, persahabatan. Dari sini masih bisa dikembangkan menjadi berkunjung, mendatangi, mengeratkan tali kasih, bahkan bisa diperluas lagi dengan saling berkomunikasi (tukar pikiran), curhat (menyampaikan isi hati), dan saling memaafkan.
Menyikapi dan merenungi hadits di atas, Islam lebih dulu memberikan kunci bagi mereka yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rizkinya. Yakni, menyambung persaudaraan. Bagaimana aplikasinya?
Ilmu Barat mengatakan, “Inti dari hidup adalah gerak.” Dengan demikian, siapa orangnya yang sering melakukan gerak, maka ia akan hidup. Karena dengan gerak organ tubuh juga ikut bergerak. Sehingga jantung akan memompakan darah ke seluruh tubuh kita. Kaitannya dengan silaturahmi, maka orang yang sering melakukan silaturahmi terhadap sesamanya. Baik teman, kenalan, tetangga, orangtua, dan lainnya, maka ia akan selalu melakukan gerak pada organ tubuhnya. Otomatis organ tubuhnya menjadi hidup, yang akhirnya berkorelasi kepada ‘memperpanjang’ usia hidupnya sebatas kehendakNya.
Dari hubungan silaturahmi juga, akan mendatangkan banyak rizki yang tidak disangka-sangka kepada siapa pun yang melakukannya. Rizki yang bagaimana? Itu hak perogatif Allah SWT. Yang jelas, dari silaturahmi ini akan terjadi dialog, pembicaraan tentang sesuatu hal. Di sini tentunya, akan terjadi transper ilmu pengetahuan dari apa-apa yang diobrolkannya. Ilmu pengetahuan itu, juga merupakan rizki. Lalu, kita dijamu misalnya. Itu juga merupakan rizki. Belum lagi, jika dari pertemuan itu berlanjut dengan kesepakatan kerjasama untuk berusaha atau berbisnis. Bukankah itu suatu rizki? Dan masih banyak yang lainnya. Yang pasti, niatan kita ikhlas mengharap ridho Allah. Allah Maha kaya dan Maha segala-galanya.
Jadi, kunci bagi panjangnya usia kita dan terbukanya rahmat dan inayah (pertolongan) Allah untuk keluar dari jeratan krisis yang melilit bangsa ini, tidak lain ukhuwwah Islamiyah. Karena, bagaimanapun besarnya umat Islam di Indonesia, sama sekali tidak ada artinya. Benar-benar laksana buih di lautan yang dengan mudah terombang-ambing oleh gelombang, apabila tidak mau berpegang teguh pada tali Allah dan menegakkan konsep Iftihadul Ummah (persatuan ummat).
Oleh karena itu, janganlah mengumbar fitnah dan cacian yang tidak bisa membuktikannya terhadap sesama Muslim. Sebab, hal ini bisa jadi hanya akan merusak amalnya sendiri di yaumil akhir nanti.
Kita hendaknya, harus mempersibuk dengan memperhatikan aib sendiri. Siapa tahu, orang yang kita benci itu kedudukannya lebih tinggi di sisi Allah dari pada kita? ***
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia
Oleh: ARDA DINATA
“MAUKAH kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada shalat dan shaum?” tanya Rasulullah Saw. kepada sahabat-sahabatnya.
“Tentu saja,” jawab mereka.
Rasulullah kemudian menjelaskan, “Engkau damaikan yang bertengkar, menyambung persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan ukhuwwah di antara mereka adalah amal shaleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rizkinya, hendaklah ia menyambung persaudaraan.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Kegiatan silaturahim ini akan terasa sekali pada bulan Syawal atau sesudah Idul Fitri, bila dibandingkan pada bulan lainnya. Padahal, pemahaman silaturahmi itu tidak membedakan bulan dan situasional.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, silaturahmi diartikan persaudaraan, persahabatan. Dari sini masih bisa dikembangkan menjadi berkunjung, mendatangi, mengeratkan tali kasih, bahkan bisa diperluas lagi dengan saling berkomunikasi (tukar pikiran), curhat (menyampaikan isi hati), dan saling memaafkan.
Menyikapi dan merenungi hadits di atas, Islam lebih dulu memberikan kunci bagi mereka yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rizkinya. Yakni, menyambung persaudaraan. Bagaimana aplikasinya?
Ilmu Barat mengatakan, “Inti dari hidup adalah gerak.” Dengan demikian, siapa orangnya yang sering melakukan gerak, maka ia akan hidup. Karena dengan gerak organ tubuh juga ikut bergerak. Sehingga jantung akan memompakan darah ke seluruh tubuh kita. Kaitannya dengan silaturahmi, maka orang yang sering melakukan silaturahmi terhadap sesamanya. Baik teman, kenalan, tetangga, orangtua, dan lainnya, maka ia akan selalu melakukan gerak pada organ tubuhnya. Otomatis organ tubuhnya menjadi hidup, yang akhirnya berkorelasi kepada ‘memperpanjang’ usia hidupnya sebatas kehendakNya.
Dari hubungan silaturahmi juga, akan mendatangkan banyak rizki yang tidak disangka-sangka kepada siapa pun yang melakukannya. Rizki yang bagaimana? Itu hak perogatif Allah SWT. Yang jelas, dari silaturahmi ini akan terjadi dialog, pembicaraan tentang sesuatu hal. Di sini tentunya, akan terjadi transper ilmu pengetahuan dari apa-apa yang diobrolkannya. Ilmu pengetahuan itu, juga merupakan rizki. Lalu, kita dijamu misalnya. Itu juga merupakan rizki. Belum lagi, jika dari pertemuan itu berlanjut dengan kesepakatan kerjasama untuk berusaha atau berbisnis. Bukankah itu suatu rizki? Dan masih banyak yang lainnya. Yang pasti, niatan kita ikhlas mengharap ridho Allah. Allah Maha kaya dan Maha segala-galanya.
Jadi, kunci bagi panjangnya usia kita dan terbukanya rahmat dan inayah (pertolongan) Allah untuk keluar dari jeratan krisis yang melilit bangsa ini, tidak lain ukhuwwah Islamiyah. Karena, bagaimanapun besarnya umat Islam di Indonesia, sama sekali tidak ada artinya. Benar-benar laksana buih di lautan yang dengan mudah terombang-ambing oleh gelombang, apabila tidak mau berpegang teguh pada tali Allah dan menegakkan konsep Iftihadul Ummah (persatuan ummat).
Oleh karena itu, janganlah mengumbar fitnah dan cacian yang tidak bisa membuktikannya terhadap sesama Muslim. Sebab, hal ini bisa jadi hanya akan merusak amalnya sendiri di yaumil akhir nanti.
Kita hendaknya, harus mempersibuk dengan memperhatikan aib sendiri. Siapa tahu, orang yang kita benci itu kedudukannya lebih tinggi di sisi Allah dari pada kita? ***
Arda Dinata adalah pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia