Membangun Priangan yang Humanis
Oleh ARDA DINATA
PRIANGAN merupakan sebuah ikon daerah selatan di wilayah Jabar, di dalamnya terdapat perkotaan yang kian hari terus berkembang dengan sangat pesat. Sementara itu, ketersediaan dan tingkat pelayanan sarana dan prasarana kota masih sangat terbatas dan belum secara merata dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Kualitas lingkungan hidup terutama di kota-kota besar dan metropolitan cenderung menurun, terutama kualitas air tanah, air permukaan, dan kualitas udara. Ditambah lagi kesemerawutan dan kemacetan lalu lintas masih menonjol, sementara permukiman-permukiman kumuh cenderung bertambah.
Perkembangan daerah perkotaan dicirikan dengan semakin berperannya masyarakat dan dunia usaha dalam mengarahkan kegiatan pembangunan perkotaaan. Visualisasi kota, identik dengan bentangan bangunan-bangunan modern. Begitu juga yang menghiasi perjalanan perkembangan kota-kota di Priangan. Namun, masalahnya banyak pembangunan kota tersebut banyak yang kehilangan nyawanya sebagai kota yang humanis. Salah satu faktor penyebabnya antara lain ialah tidak konsistennya para pelaku pembangunan dengan rencana tata ruang kota yang telah disepakati pada awal perencanaan pembangunan kota.
Efek yang muncul dari pelanggaran tata ruang kota ini, agaknya dengan mudah kita bisa ambil contohnya. Pertama, mulai pudarnya keramahan dan hilangnya rasa aman. Kedua, kesemrawutan angkutan umum. Moda angkutan umum seharusnya menjadikan penumpang sebagai seorang raja, yaitu dengan cara pemberian pelayanan yang memuaskan bagi para penggunanya. Tetapi sayang, angkutan umum kota sering kali mengabaikan kenyamanan kepada penumpang dan pengguna jalan lainnya. Mereka seolah tidak mengenal sebutan, "penumpang adalah raja." Karena, mereka selalu menganggap dirinyalah yang menjadi raja dan berhak berbuat semaunya.
Ketiga, sulitnya berjalan kaki di trotoar. Perubahan fungsi trotoar terutama di kawasan pusat keramaian yang menjadikannya sebagai tempat menjajakan dagangan menyebabkan pejalan kaki harus berebut tempat dengan pengendara kendaraan. Mereka turun ke jalan dan berjalan di pinggiran yang tentunya kondisi ini sangat membahayakan bagi kedua belah pihak.
Keempat, banyaknya lahan terbuka hijau dan taman-taman kota yang telah beralih fungsi. Hal ini, menyebabkan suasana kota pun seakan-akan terasa sarekseuk. Selain contoh tersebut, sebenarnya masih banyak permasalahan kota ini lainnya, seperti masalah persampahan, polusi udara, pencemaran limbah industri, kekringan air, masalah banjir, dan lainnya.
Permasalahan yang muncul diperkotaan tersebut, bila diteliti sebenarnya ia muncul sejalan dengan proses perkemabngan kota itu sendiri. Hal inilah, sebenarnya yang seharusnya kita sadari bersama. Artinya, kita tidak mungkin dapat mengelak dari proses perkemabngan kota itu sendiri. Tapi, di sini kayaknya yang harus kita pikirkan adalah bagaimana caranya kita dapat mengeleminir efek negatif dari perkembangan sebuah kota, sehingga akhirnya eksesitensi dan citra sebuah kota dapat dipertahankaan adanya.
Berkait dengan pertumbuhan kota ini, jauh-jauh hari Doxiadis meramalkan bahwa kota-kota akan tumbuh dan bengkak semakin besar, semakin luas dan sulit dikendalikan. Polis (kota) akan menjadi metropolis (kota raya), kemudian megapolis (kota mega), ecumenopolis (kota dunia), dan bila tidak hati-hati akan berakhir dengan kota mayat (necropolis).
Walaupun itu hanya sekedar ramalan, tapi tidak ada salahnya bila kita hati-hati dan mengantisipasinya secara bersama-sama dalam mengelola kota ini secara bijaksana. Peringatan ini, kelihatannya sejalan dengan apa yang diinginkan pula oleh Ormsbee (1986), bahwa kita agar lebih berhati-hati dalam mengelola kota dan lingkungan binaan manusia. Selain itu, yang terpenting barangkali kita juga berharap jangan sampai terjadi ”ecological suicide” (baca: bunuh diri ekologi) oleh pihak-pihak tertentu terhadap pembangunan kota ini.
Kota humanis
Menyikapi permasalahan dan harapan perkembangan pembangunan kota ini, setidaknya menyisihkan satu pertanyaan yang mesti disikapi dan dijawab sebagai solusi terhadap fenomena kota tersebut. Di sinilah kelihatannya kita perlu menerapkan sistem pembangunan kota yang berkelanjutan, sebagai sebuah harapan akan kenyamanan dan kewibawaan sebagai kota atas jati diri dan citra kota itu sendiri.
Pembangunan kota berkelanjutan sendiri, seperti dikutif Eko Budihardjo & Djoko Sujarto (1999) dalam buku ”Kota Berkelanjutan”, pada dasarnya adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini tanpa megabaikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka, sebagai suatu proses perubahan di mana pemanfaatan sumber daya, arah investasi, orentasi pembangunan dan perubahan kelembagaan selalu dalam keseimbangan dan secara sinergis saling memperkuat potensi masa kini maupun masa mendatang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia (Brundtland; 1987).
Dalam arti lain, kota berkelanjutan ini adalah sebuah kota yang merupakan perpaduan antara konsep ecopolis, humanopolis, dan technopolis (Arda Dinata: 2000). Ecopolis, berarti kalau dalam pembangunan kota itu yang lebih dominan adalah dari kalangan ilmuwan dan pakal ahli lingkungan. Dalam arti lain, konservasi energi dan pelestarian keseimbangan ekologis menjadi pertimbangan utama dalam pembangunan kota.
Humanopolis, berarti dalam pengelolaan pembangunan perkotaan ditentukan sendiri sepenuhnya oleh segenap warganya. Menurut Peter Hall (1991), konsep humanopolis mungkin dewasa ini masih akan dinilai utopis.
Technopolis, berarti dalam pengelolaan pembangunan kota itu yang mendominasi adalah para rekayasawan dan teknolog. Wujudnya bisa berupa kota yang sarat dengan bangunan modern. Misalnya kota kompak satu dimensi, bangunan jangkung, kota terapung, kota di dalam laut, kota di udara, dan semacamnya.
Berkaitan dengan itu, lalu bagaimana keadaan pembangunan kota-kota di Priangan saat ini. Apakah telah memadukan antara konsep ecopolis, humanopolis, dan technopolis sebagai jalan pemecahan permasalahan kotanya serta yang sekaligus merupakan kota masa depan. Atau jangan-jangan pembangunan kota-kota di Priangan ini merupakan pembangunan kota yang tidak ”berkonsep”. Yang menggelinding begitu saja, seperti sebuah bola yang ditendang oleh seorang anak kecil?
Akhirnya, agar pembangunan kota-kota di Priangan itu lebih humanis dan manusiawi, maka langkahnya pembangunan kota itu jelas-jelas harus memiliki konsep yang matang dan integral. Artinya, pembangunan kota itu harus memperhatikan konsep-konsep pembangunan kota yang berkelanjutan seperti di paparkan di atas.***
Penulis adalah pemerhati masalah lingkungan dan pendiri Majelis Inspirasi Al-Quran & Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
Tulisan ini telah dimuat di HU. Priangan, edisi tanggal 14 Februari 2009
Oleh ARDA DINATA
PRIANGAN merupakan sebuah ikon daerah selatan di wilayah Jabar, di dalamnya terdapat perkotaan yang kian hari terus berkembang dengan sangat pesat. Sementara itu, ketersediaan dan tingkat pelayanan sarana dan prasarana kota masih sangat terbatas dan belum secara merata dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Kualitas lingkungan hidup terutama di kota-kota besar dan metropolitan cenderung menurun, terutama kualitas air tanah, air permukaan, dan kualitas udara. Ditambah lagi kesemerawutan dan kemacetan lalu lintas masih menonjol, sementara permukiman-permukiman kumuh cenderung bertambah.
Perkembangan daerah perkotaan dicirikan dengan semakin berperannya masyarakat dan dunia usaha dalam mengarahkan kegiatan pembangunan perkotaaan. Visualisasi kota, identik dengan bentangan bangunan-bangunan modern. Begitu juga yang menghiasi perjalanan perkembangan kota-kota di Priangan. Namun, masalahnya banyak pembangunan kota tersebut banyak yang kehilangan nyawanya sebagai kota yang humanis. Salah satu faktor penyebabnya antara lain ialah tidak konsistennya para pelaku pembangunan dengan rencana tata ruang kota yang telah disepakati pada awal perencanaan pembangunan kota.
Efek yang muncul dari pelanggaran tata ruang kota ini, agaknya dengan mudah kita bisa ambil contohnya. Pertama, mulai pudarnya keramahan dan hilangnya rasa aman. Kedua, kesemrawutan angkutan umum. Moda angkutan umum seharusnya menjadikan penumpang sebagai seorang raja, yaitu dengan cara pemberian pelayanan yang memuaskan bagi para penggunanya. Tetapi sayang, angkutan umum kota sering kali mengabaikan kenyamanan kepada penumpang dan pengguna jalan lainnya. Mereka seolah tidak mengenal sebutan, "penumpang adalah raja." Karena, mereka selalu menganggap dirinyalah yang menjadi raja dan berhak berbuat semaunya.
Ketiga, sulitnya berjalan kaki di trotoar. Perubahan fungsi trotoar terutama di kawasan pusat keramaian yang menjadikannya sebagai tempat menjajakan dagangan menyebabkan pejalan kaki harus berebut tempat dengan pengendara kendaraan. Mereka turun ke jalan dan berjalan di pinggiran yang tentunya kondisi ini sangat membahayakan bagi kedua belah pihak.
Keempat, banyaknya lahan terbuka hijau dan taman-taman kota yang telah beralih fungsi. Hal ini, menyebabkan suasana kota pun seakan-akan terasa sarekseuk. Selain contoh tersebut, sebenarnya masih banyak permasalahan kota ini lainnya, seperti masalah persampahan, polusi udara, pencemaran limbah industri, kekringan air, masalah banjir, dan lainnya.
Permasalahan yang muncul diperkotaan tersebut, bila diteliti sebenarnya ia muncul sejalan dengan proses perkemabngan kota itu sendiri. Hal inilah, sebenarnya yang seharusnya kita sadari bersama. Artinya, kita tidak mungkin dapat mengelak dari proses perkemabngan kota itu sendiri. Tapi, di sini kayaknya yang harus kita pikirkan adalah bagaimana caranya kita dapat mengeleminir efek negatif dari perkembangan sebuah kota, sehingga akhirnya eksesitensi dan citra sebuah kota dapat dipertahankaan adanya.
Berkait dengan pertumbuhan kota ini, jauh-jauh hari Doxiadis meramalkan bahwa kota-kota akan tumbuh dan bengkak semakin besar, semakin luas dan sulit dikendalikan. Polis (kota) akan menjadi metropolis (kota raya), kemudian megapolis (kota mega), ecumenopolis (kota dunia), dan bila tidak hati-hati akan berakhir dengan kota mayat (necropolis).
Walaupun itu hanya sekedar ramalan, tapi tidak ada salahnya bila kita hati-hati dan mengantisipasinya secara bersama-sama dalam mengelola kota ini secara bijaksana. Peringatan ini, kelihatannya sejalan dengan apa yang diinginkan pula oleh Ormsbee (1986), bahwa kita agar lebih berhati-hati dalam mengelola kota dan lingkungan binaan manusia. Selain itu, yang terpenting barangkali kita juga berharap jangan sampai terjadi ”ecological suicide” (baca: bunuh diri ekologi) oleh pihak-pihak tertentu terhadap pembangunan kota ini.
Kota humanis
Menyikapi permasalahan dan harapan perkembangan pembangunan kota ini, setidaknya menyisihkan satu pertanyaan yang mesti disikapi dan dijawab sebagai solusi terhadap fenomena kota tersebut. Di sinilah kelihatannya kita perlu menerapkan sistem pembangunan kota yang berkelanjutan, sebagai sebuah harapan akan kenyamanan dan kewibawaan sebagai kota atas jati diri dan citra kota itu sendiri.
Pembangunan kota berkelanjutan sendiri, seperti dikutif Eko Budihardjo & Djoko Sujarto (1999) dalam buku ”Kota Berkelanjutan”, pada dasarnya adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini tanpa megabaikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka, sebagai suatu proses perubahan di mana pemanfaatan sumber daya, arah investasi, orentasi pembangunan dan perubahan kelembagaan selalu dalam keseimbangan dan secara sinergis saling memperkuat potensi masa kini maupun masa mendatang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia (Brundtland; 1987).
Dalam arti lain, kota berkelanjutan ini adalah sebuah kota yang merupakan perpaduan antara konsep ecopolis, humanopolis, dan technopolis (Arda Dinata: 2000). Ecopolis, berarti kalau dalam pembangunan kota itu yang lebih dominan adalah dari kalangan ilmuwan dan pakal ahli lingkungan. Dalam arti lain, konservasi energi dan pelestarian keseimbangan ekologis menjadi pertimbangan utama dalam pembangunan kota.
Humanopolis, berarti dalam pengelolaan pembangunan perkotaan ditentukan sendiri sepenuhnya oleh segenap warganya. Menurut Peter Hall (1991), konsep humanopolis mungkin dewasa ini masih akan dinilai utopis.
Technopolis, berarti dalam pengelolaan pembangunan kota itu yang mendominasi adalah para rekayasawan dan teknolog. Wujudnya bisa berupa kota yang sarat dengan bangunan modern. Misalnya kota kompak satu dimensi, bangunan jangkung, kota terapung, kota di dalam laut, kota di udara, dan semacamnya.
Berkaitan dengan itu, lalu bagaimana keadaan pembangunan kota-kota di Priangan saat ini. Apakah telah memadukan antara konsep ecopolis, humanopolis, dan technopolis sebagai jalan pemecahan permasalahan kotanya serta yang sekaligus merupakan kota masa depan. Atau jangan-jangan pembangunan kota-kota di Priangan ini merupakan pembangunan kota yang tidak ”berkonsep”. Yang menggelinding begitu saja, seperti sebuah bola yang ditendang oleh seorang anak kecil?
Akhirnya, agar pembangunan kota-kota di Priangan itu lebih humanis dan manusiawi, maka langkahnya pembangunan kota itu jelas-jelas harus memiliki konsep yang matang dan integral. Artinya, pembangunan kota itu harus memperhatikan konsep-konsep pembangunan kota yang berkelanjutan seperti di paparkan di atas.***
Penulis adalah pemerhati masalah lingkungan dan pendiri Majelis Inspirasi Al-Quran & Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
Tulisan ini telah dimuat di HU. Priangan, edisi tanggal 14 Februari 2009