Oleh ARDA DINATA
KEHIDUPAN itu harapan. Ia adalah rangkaian irama amal yang akan menghantarkan seseorang pada tujuan hidup. Harapan-harapan itu harusnya seirama dan mendukung pencapaian tujuan hidup kita. Namun, nyatanya banyak harapan dan tujuan hidup itu tidak saling mendukung sehingga kehidupan kita berujung pada kekecewaan.
KEHIDUPAN itu harapan. Ia adalah rangkaian irama amal yang akan menghantarkan seseorang pada tujuan hidup. Harapan-harapan itu harusnya seirama dan mendukung pencapaian tujuan hidup kita. Namun, nyatanya banyak harapan dan tujuan hidup itu tidak saling mendukung sehingga kehidupan kita berujung pada kekecewaan.
Dalam Islam ada rangkaian kata yang begitu indah, yaitu: surga, sabar, dan syukur. Ketiga kata itu saling terkait dan mendukung satu sama lain. Dan ketiga kata itu dalam hidup seorang muslim menjadi kata yang akan bersinggungan dalam membangun realita kehidupannya.
Ada sebuah riwayat yang pas untuk mengilustrasikan kondisi seperti itu, yaitu apa yang diungkap Ash-Shabuni (1988, 1:382). Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki yang buruk rupa memiliki istri yang sangat cantik. Pada suatu hari si istri melihat suaminya, lalu bergumam, “Alhamdulillah.”
Suaminya berkata, “Ada apa?”
Dia menjawab, “Aku memanjatkan puji kepada Allah yang telah menjadikan diriku dan dirimu sebagai ahli surga, sebab engkau dianugerahi rizki, lalu bersyukur, aku pun diberi rizki berupa suami sepertimu, lalu aku bersabar. Sungguh Allah telah menjanjikan surga bagi orang yang bersabar dan bersyukur.”
Jadi, ahli surga itu merupakan rangkaian akumulasi amal kita dalam membangun rasa sabar dan syukur. Inilah salah satu kunci ahli surga yang patut kita bina, perjuangkan dan aplikasikan dalam hidup keseharian seorang muslim. Lalu, apa sesungguhnya makna sabar dan syukur itu?
Menurut Syekh Al Hakim At Tirmidzi (205 H–320 H), yang dimaksud syukur adalah menyadari karunia yang Allah berikan pada dirinya, sementara yang dimaksud dengan sabar adalah tetap dalam kedudukannya bersama Tuhan.
Sementara itu, dilihat dari segi bahasa, syukur adalah terbukanya kalbu hingga karunia Tuhan tampak padamu. Di dadamu, karunia Allah selalu terlihat pada sesuatu yang Dia berikan padamu. Diriwayatkan dari Al Hasan Al Bashri bahwa Musa bertanya, “Tuhan, bagaimana cara Adam bersyukur kepada-Mu?” Tuhan menjawab, “Dia mengetahui hal itu bersumber dari-Ku, itulah bentuk syukurnya.”
Untuk sabar sendiri, ia terambil dari kata Ashbaar, yang bermakna menjadikan sesuatu sebagai obyek atau meninggikan sesuatu untuk menjadi sasaran busur panah. Jadi, sabar terwujud dalam bentuk keteguhan hamba untuk menerima panah ketentuan Tuhan, bagaikan sasaran busur panah manusia yang tidak miring ke kiri atau ke kanan. Ia tidak bergeser dari tempatnya, sebab syarat untuk menjadi hamba Tuhan adalah percaya dan pasrah.
Lebih jauh At Tirmidzi mengungkapkan bahwa syukur merupakan substansi iman, sementara sabar merupakan substansi Islam. Ketika seorang hamba merasa tenang bersama Tuhan, maka dia disebut mukmin. Namun ketika menyerahkan diri sebagai hamba, maka dia disebut muslim. Keduanya terwujud dalam waktu bersamaan, sebab kalbu dalam kondisi bergerak dan bingung mencari Tuhan. Ketika mendapat rahmat, cahaya dan petunjuk, maka kalbu menjadi tenang dan stabil sehingga disebut beriman. Sebaliknya, ia menjadi gelisah dan gusar ketika cemas terhadap sesuatu. Tatkala rasa cemas itu hilang, maka kalbu kembali tenang hingga disebut beriman.
Atas dasar pemetaan tersebut, maka keberadaan sabar dan syukur ini bagi umat Islam harusnya mempunyai tempat yang khusus di dalam pribadinya yang diaplikasikan dalam perilaku hidup keseharian. Lalu, bagaimana kita semestinya menempatkan dan membangun rasa sabar dan syukur sebagai kunci surga ini dalam menjalankan kehidupan sehari-hari?
Sifat dan perilaku bersyukur ini, semestinya kita awali dengan mengenal nikmat, karena mengenal nikmat itu adalah jalan untuk mengenal Sang Pemberi nikmat. Pada tataran ini, Ibn Al Qayyim dalam Madaarij Al Salikin menuliskan kalau pengertian syukur ada tiga yaitu (1) mengenal nikmat, (2) menerimanya, dan (3) memujinya.
Mengenal nikmat terwujud lewat rasa papa dan butuh kepada-Nya. Memuji adalah dengan memuji Zat Yang Memberi nikmat. Wujudnya ada yang bersifat umum (menyadari-Nya sebagai Zat Yang Maha Pemurah dan banyak memberi) dan yang bersifat khusus (menceritakan nikmat Allah yang diberikan lewat dirinya). Hal terakhir ini sesuai dengan yang dijelaskan dalam firman Allah, “Adapun yang terkait dengan nikmat Tuhanmu, maka ceritakanlah.”
Adapun sabar ini, ia berwujud ujian untuk melihat kebaikan dan keburukanmu. Dengan cara seperti itu, tentu akan terlihat diri kita apakah tetap teguh dihadapan-Nya dan apakah kita siap menjadi sasaran tembak-Nya. Lebih jauh, perilaku tersebut juga akan menampakkan gambaran kejujuran seseorang. Yakni apakah dia memujimu untuk melihat bahwa dirimu benar-benar bersyukur? Allah berfirman dalam QS Ibrahim (14):5, “dalam semua kejadian itu terdapat bukti kekuasaan Allah bagi orang yang selalu sabar dan bersyukur.”
Akhirnya, terlihat jelas dari ayat di atas, kalau Allah mengungkap kata sabar dengan pola fa’al dan mengungkap kata syukur dengan pola fa’ul. Dia mendahulukan sabar sebelum syukur, karena sikap sabar memperlihatkan rasa syukur. Syukur tersebut tersimpan di dalamnya, sebagaimana api tersembunyi di dalam batu. Ujian ibarat sebatang kayu yang memunculkan api lewat bara. Ketika batu tersebut dinyalakan, maka tampaklah api yang tersembunyi tadi.
Lantas, apakah kita selama ini sudah berperilaku sabar dan syukur untuk meraih surga-Nya? Lebih-lebih di bulan Ramadhan yang mana tiap muslim dituntut untuk berperilaku sabar dan syukur dalam menjalankan ibadah di dalamnya. Waalahu’alam.*