Kasih Sayang Sebagai Rahim Manusia Beradab
Oleh: Arda Dinata
PADA suatu tempat bertanah subur, bersungai jernih, dan berlangit biru, tumbuh sebatang asam yang besar. Di sekelilingnya tanah menghijau oleh rumput dan ilalang. Menyadari kekokohan dirinya, pohon asam pun menegur ilalang. Dia kasihan melihat kelemahan ilalang. Angin semilir saja sudah membuatnya seperti kepayahan berayun kian ke mari. Dengan penuh kesadaran dan kekuatan dirinya, pohon asam mengajak ilalang dekat-dekat kepadanya, supaya angin tidak lagi mengancam.
Lucunya, ilalang tidak merasa terancam. Lagi pula, akarnya memang sudah tumbuh pada tempatnya berdiri. Karenanya dia berterima kasih kepada pohon asam seraya mencukupkan dirinya seperti apa adanya. Ilalang mengakui bahwa dia memang lemah. Namun, dalam kelemahannya itu angin semilir atau angin topan baginya jadi sama saja. Dia hanya akan menari. Akarnya jauh tertanam di dalam tanah sehingga akan tetap hidup, menjadi tanda kehadiran tanah tempatnya tumbuh.
Pohon asam tentu saja menjadi geli terhadap kenaifan ilalang. Sebuah ketidaknyamanan yang lirih mengusik pohon asam, dan pohon asam pun lantas menganggap bahwa itu kesombongan diam-diam yang menjengkelkan dari si ilalang yang harus dilenyapkan dengan pembuktian kekuatan dirinya.
Angin topan bertiup kencang. Dengan gagahnya pohon asam menghadang angin. Namun, kali ini topan terlalu besar. Sementara ilalang meliuk dengan luwesnya, pohon asam bergetar hebat dilanda angin. Akhirnya, pohon asam itu roboh dan mati. Ilalang menangis sedih disampingnya.
* *
DARI penggalan kisah fabel klasik La Fonteina tentang pohon asam dan ilalang itu, tentu ada makna kehidupan yang bisa kita renungi sebagai bahan membangun kehidupan yang toleran dan beradab. Munculnya rasa kasih sayang dari pohon asam terhadap ilalang adalah sesuatu yang sungguh luar biasa. Namun, sayang pohon asam membalut makna kasih sayang itu dengan ketidak ikhlasan dalam dirinya. Ego kesombongannya telah mengubur inspirasi kasih sayangnya.
Kasih sayang sudah seharusnya tidak didasari dengan label-label kesombongan. Karena kesombongan apa pun bentuknya, ia dengan sendirinya akan melumatkan segala potensi kasih sayang yang ditawarkannya.
Di sini, harus diakui kalau hidup itu didapat dari pemberian perhatian orang lain (orangtua, saudara, suami, isteri, kawan, dll.). Coba bayangkan, seandainya kita hidup saling mengabaikan, mengacuhkan, hidup sendiri dengan tidak saling memperhatikan. Apa yang akan terjadi?
Adalah mustahil kita hidup sendiri, karena itu menentang sunatullah. Hidup ini akan menjadi indah, bahagia, mengesankan, bermanfaat bagi kita sendiri atau orang lain bila kitanya saling membagi perhatian. Saling memperhatikan adalah gambaran akan adanya hubungan kasih sayang. Dan sebaliknya, kasih sayang bisa terbentuk karena kita saling memperhatikan.
* *
KASIH sayang, kata yang enak didengar, indah dan suci. Adanya didambakan oleh setiap orang. Kasih sayang merupakan rahim manusia beradab yang menentramkan. Kata rahim berasal dari akar yang sama dengan belai kasih, rasa sayang, rasa kasihan, kecenderungan untuk menahan, dan kecenderungan untuk membantu seseorang. Sifat rahmah juga merupakan sifat yang alamiah melekat pada diri seorang ibu (baca: sang pemilik rahim). Karena sifat rahmah sudah berpotensi melekat, menurut Miranda Risang Ayu, adalah tugas ilahiah seorang ibu yang wajar untuk menjadikan dirinya sumber kasih sayang yang menghidupkan bayinya, seperti halnya Allah menjadi sumber sifat kasih sayang yang sempurna bagi alam semesta beserta isinya.
Keberadaan kasih sayang ini tidak akan lahir, bila kita tidak melahirkannya. Yang jelas kasih sayang membutuhkan keterbukaan, pengertian, "pengorbanan", tanggung jawab, perhatian, dan lainnya. Dalam sekala keluarga misalnya, seorang anak terlahir dan terbentuk pada prinsipnya merupakan hasil curahan kasih sayang dari orangtuanya.
Miranda mengungkapkan, pada puncak kesadaran spiritual manusia, perempuan sesungguhnya adalah wajah peradaban. Pada peradaban (sang feminim), manusia adalah subjek aktif yang memproduksi nilai, membangun relasi organis, dan akhirnya, berpartisipasi dalam penciptaan struktur sosial. Sebaliknya, lelaki adalah wajah alam semesta. Pada alam semesta (sang maskulin), manusia adalah subjek yang secara sadar submisif terhadapnya, karena ia bergantung, dihidupi, dilindungi, dan disantuni. Kelangsungan habitatanya sebagai manusia pun amat bergantung pada kemurahan alam semesta.
Di sini, hukum perjalanan telah membuktikan bahwa peradaban yang tidak mengindahkan alam semesta adalah peradaban yang ingkar pada asalnya, dan menuju kepada kehancuran makna kehadirannya. Sementara alam semesta tanpa peradaban adalah stangnasi. Alam semesta tanpa peradaban tidak pernah ada. Ini adalah kehancuran maknawi yang sesungguhnya.
Sebaliknya, interaksi antara peradaban dan alam semesta yang bersifat posesif dan eksploitatif juga akan saling menghancurkan. Interaksi semacam itu akan menimbulkan kemarahan reaktif peradaban sekaligus kemarahan reaktif alam semesta. Kemarahan reaktif peradaban akan berupa tertawa tergelak di atas kerusakan dan ketidakseimbangan alam sampai napas manusianya putus di langit makna. Sementara kemarahan reaktif alam semesta berwujud bencana alam, kelangkaan sumber daya, dan guncangan regresif lain, menghancurkan peradaban manusia dalam diri semesta itu sendiri.
Untuk itu, patut dicatat apa yang diungkapkan W. Somerset Maugham bahwa “tragedi hidup yang terbesar adalah bukan binasanya manusia, melainkan hilangnya rasa cinta dalam diri manusia.” Yakni cinta yang dilandasi rasa kasih sayang. Dan kita tahu, cinta itu dapat langgeng manakala ia menyelimuti dirinya dengan pondasi kasih sayang yang ikhlas.
Jadi, kasih sayang yang benar-benar tulus, tidak dengan kesombongan, tentu akan melahirkan manusia beradab, yang benar-benar punya nilai bagi siapa pun. Karena ia dibangun bukan dengan kekerasan, nafsu keegoan dan berniat mengorbankan siapa pun. Sehingga pantas saja, seorang yang bijak pernah berkata “Tidak ada nilai apa pun yang lebih besar daripada nilai setiap manusia, sehingga demi nilai itu kita tak berhak untuk mengorbankan seorang manusia pun.” Inilah, barangkali makna kasih sayang sebagai rahim manusia beradab. Wallahu’alam. (Arda Dinata).***
Arda Dinata, adalah praktisi kesehatan, pengusaha inspirasi, pembicara, trainer, dan motivator di Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.
Oleh: Arda Dinata
PADA suatu tempat bertanah subur, bersungai jernih, dan berlangit biru, tumbuh sebatang asam yang besar. Di sekelilingnya tanah menghijau oleh rumput dan ilalang. Menyadari kekokohan dirinya, pohon asam pun menegur ilalang. Dia kasihan melihat kelemahan ilalang. Angin semilir saja sudah membuatnya seperti kepayahan berayun kian ke mari. Dengan penuh kesadaran dan kekuatan dirinya, pohon asam mengajak ilalang dekat-dekat kepadanya, supaya angin tidak lagi mengancam.
Lucunya, ilalang tidak merasa terancam. Lagi pula, akarnya memang sudah tumbuh pada tempatnya berdiri. Karenanya dia berterima kasih kepada pohon asam seraya mencukupkan dirinya seperti apa adanya. Ilalang mengakui bahwa dia memang lemah. Namun, dalam kelemahannya itu angin semilir atau angin topan baginya jadi sama saja. Dia hanya akan menari. Akarnya jauh tertanam di dalam tanah sehingga akan tetap hidup, menjadi tanda kehadiran tanah tempatnya tumbuh.
Pohon asam tentu saja menjadi geli terhadap kenaifan ilalang. Sebuah ketidaknyamanan yang lirih mengusik pohon asam, dan pohon asam pun lantas menganggap bahwa itu kesombongan diam-diam yang menjengkelkan dari si ilalang yang harus dilenyapkan dengan pembuktian kekuatan dirinya.
Angin topan bertiup kencang. Dengan gagahnya pohon asam menghadang angin. Namun, kali ini topan terlalu besar. Sementara ilalang meliuk dengan luwesnya, pohon asam bergetar hebat dilanda angin. Akhirnya, pohon asam itu roboh dan mati. Ilalang menangis sedih disampingnya.
* *
DARI penggalan kisah fabel klasik La Fonteina tentang pohon asam dan ilalang itu, tentu ada makna kehidupan yang bisa kita renungi sebagai bahan membangun kehidupan yang toleran dan beradab. Munculnya rasa kasih sayang dari pohon asam terhadap ilalang adalah sesuatu yang sungguh luar biasa. Namun, sayang pohon asam membalut makna kasih sayang itu dengan ketidak ikhlasan dalam dirinya. Ego kesombongannya telah mengubur inspirasi kasih sayangnya.
Kasih sayang sudah seharusnya tidak didasari dengan label-label kesombongan. Karena kesombongan apa pun bentuknya, ia dengan sendirinya akan melumatkan segala potensi kasih sayang yang ditawarkannya.
Di sini, harus diakui kalau hidup itu didapat dari pemberian perhatian orang lain (orangtua, saudara, suami, isteri, kawan, dll.). Coba bayangkan, seandainya kita hidup saling mengabaikan, mengacuhkan, hidup sendiri dengan tidak saling memperhatikan. Apa yang akan terjadi?
Adalah mustahil kita hidup sendiri, karena itu menentang sunatullah. Hidup ini akan menjadi indah, bahagia, mengesankan, bermanfaat bagi kita sendiri atau orang lain bila kitanya saling membagi perhatian. Saling memperhatikan adalah gambaran akan adanya hubungan kasih sayang. Dan sebaliknya, kasih sayang bisa terbentuk karena kita saling memperhatikan.
* *
KASIH sayang, kata yang enak didengar, indah dan suci. Adanya didambakan oleh setiap orang. Kasih sayang merupakan rahim manusia beradab yang menentramkan. Kata rahim berasal dari akar yang sama dengan belai kasih, rasa sayang, rasa kasihan, kecenderungan untuk menahan, dan kecenderungan untuk membantu seseorang. Sifat rahmah juga merupakan sifat yang alamiah melekat pada diri seorang ibu (baca: sang pemilik rahim). Karena sifat rahmah sudah berpotensi melekat, menurut Miranda Risang Ayu, adalah tugas ilahiah seorang ibu yang wajar untuk menjadikan dirinya sumber kasih sayang yang menghidupkan bayinya, seperti halnya Allah menjadi sumber sifat kasih sayang yang sempurna bagi alam semesta beserta isinya.
Keberadaan kasih sayang ini tidak akan lahir, bila kita tidak melahirkannya. Yang jelas kasih sayang membutuhkan keterbukaan, pengertian, "pengorbanan", tanggung jawab, perhatian, dan lainnya. Dalam sekala keluarga misalnya, seorang anak terlahir dan terbentuk pada prinsipnya merupakan hasil curahan kasih sayang dari orangtuanya.
Miranda mengungkapkan, pada puncak kesadaran spiritual manusia, perempuan sesungguhnya adalah wajah peradaban. Pada peradaban (sang feminim), manusia adalah subjek aktif yang memproduksi nilai, membangun relasi organis, dan akhirnya, berpartisipasi dalam penciptaan struktur sosial. Sebaliknya, lelaki adalah wajah alam semesta. Pada alam semesta (sang maskulin), manusia adalah subjek yang secara sadar submisif terhadapnya, karena ia bergantung, dihidupi, dilindungi, dan disantuni. Kelangsungan habitatanya sebagai manusia pun amat bergantung pada kemurahan alam semesta.
Di sini, hukum perjalanan telah membuktikan bahwa peradaban yang tidak mengindahkan alam semesta adalah peradaban yang ingkar pada asalnya, dan menuju kepada kehancuran makna kehadirannya. Sementara alam semesta tanpa peradaban adalah stangnasi. Alam semesta tanpa peradaban tidak pernah ada. Ini adalah kehancuran maknawi yang sesungguhnya.
Sebaliknya, interaksi antara peradaban dan alam semesta yang bersifat posesif dan eksploitatif juga akan saling menghancurkan. Interaksi semacam itu akan menimbulkan kemarahan reaktif peradaban sekaligus kemarahan reaktif alam semesta. Kemarahan reaktif peradaban akan berupa tertawa tergelak di atas kerusakan dan ketidakseimbangan alam sampai napas manusianya putus di langit makna. Sementara kemarahan reaktif alam semesta berwujud bencana alam, kelangkaan sumber daya, dan guncangan regresif lain, menghancurkan peradaban manusia dalam diri semesta itu sendiri.
Untuk itu, patut dicatat apa yang diungkapkan W. Somerset Maugham bahwa “tragedi hidup yang terbesar adalah bukan binasanya manusia, melainkan hilangnya rasa cinta dalam diri manusia.” Yakni cinta yang dilandasi rasa kasih sayang. Dan kita tahu, cinta itu dapat langgeng manakala ia menyelimuti dirinya dengan pondasi kasih sayang yang ikhlas.
Jadi, kasih sayang yang benar-benar tulus, tidak dengan kesombongan, tentu akan melahirkan manusia beradab, yang benar-benar punya nilai bagi siapa pun. Karena ia dibangun bukan dengan kekerasan, nafsu keegoan dan berniat mengorbankan siapa pun. Sehingga pantas saja, seorang yang bijak pernah berkata “Tidak ada nilai apa pun yang lebih besar daripada nilai setiap manusia, sehingga demi nilai itu kita tak berhak untuk mengorbankan seorang manusia pun.” Inilah, barangkali makna kasih sayang sebagai rahim manusia beradab. Wallahu’alam. (Arda Dinata).***
Arda Dinata, adalah praktisi kesehatan, pengusaha inspirasi, pembicara, trainer, dan motivator di Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam (MIQRA) Indonesia.