|HOME |INSPIRASI |OPINI |KIAT |OPTIMIS |SEHAT |KELUARGA |IBROH |JURNALISTIK |BUKU |EBOOKS |JURNAL |LINGKUNGAN |SEHAT |PSIKOLOGI |WANITA |BISNIS |SYARIAH |PROFIL |ARDA TV|
- / / : 081284826829

Indahnya Berpolitik dengan Bening Hati

Sikap politik Hamka menunjukkan pribadi yang marwah, punya harga diri. Ia tidak gampang tergoda oleh kekuasaan dan fasilitas. Dan inilah, kelihatannya yang hilang dalam sikap berpolitik kita saat ini. @ardadinata

Indahnya Berpolitik dengan Bening Hati
Oleh Arda Dinata
Politik merupakan simpul tali yang menghubungkan manusia yang satu dengan yang lainnya. Menurut Kuntowijoyo (1997), kita tidak usah hirau dengan pernyataan bahwa “politik itu kotor”. Sebab, yang sesungguhnya kotor itu bukan politik, tapi manusianya (pelakunya). Politik adalah fitrah. Ia berada dalam garis linier dengan agama. Politik dan agama, atau agama dan politik, adalah dua hal yang tidak bertentangan. Politik adalah tata aturan hidup yang kasat mata. Namun demikian, tidak berarti hal itu dapat dipisahkan dari ruh agama. Sebaliknya, justru harus merupakan manifestasi dari sosok manusia beragama. Konsekuensinya, meski sama-sama beragama Islam, namun umat Islam berbeda dalam hal penafsiran, pemahaman, dan pengalaman agamanya. Perbedaan ini, sah-sah saja, sepanjang menyangkut furu’ (cabang), bukan menyangkut pokok seperti akidah (tauhidullah).

Di sinilah, kita harus berpolitik yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam. Tepatnya, politik harus menjadi sarana untuk mewujudkan ajaran Islam di muka bumi. Tanpa partisipasi politik umat Islam, yang mampu menjalankan politik Islam secara benar, maka ajaran Islam sulit diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk mencapai itu, kita tentu tidak boleh terlepas dari etika Islami. Kita sependapat, untuk mencapai sesuatu hasil yang bagus, harus menggunakan cara yang bagus pula. Mustahil, sebuah partai politik (baca: berpolitik) akan mampu membela Islam dan umat Islam, jika tega menggunakan cara curang, penuh intimidasi, manipulasi, dll. yang diharamkan. Di sinilah, perlunya kita membangun kebeningan hati dalam berpolitik. Sehingga hasil yang diperoleh benar-benar bersih, dengan cara yang bersih pula serta mengandung manfaat yang penuh berkah.

Ada beberapa akhlak yang perlu dibangun untuk mencapai keindahan berpolitik dengan bening hati:

  1. Niatkan secara ikhlas. Islam memandang politik sebagai bagian dari amal saleh, maka usahakanlah niatan berpolitik tidak hanya berdampak pada soal duniawi, tapi lebih dari itu menyangkut soal akhirat.
  2. Tidak berdusta. Berpolitik sangat potensial untuk mengobral janji dan membohongi.
  3. Menampilkan program-programnya dengan cara sebaik-baiknya. Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan untuk berbuat sebaik-baiknya (ihsan) dalam segala sesuatu.” (HR. Muslim).
  4. Tidak memaksa. Politik adalah jalan dakwah dan bukan jalan menghalalkan cara untuk meraih suara maksimal. Kita tak boleh memaksa orang lain untuk menerima, mendukung, dan memberikan hak pilihnya ke satu partai (baca: identik dengan makna QS. 2: 256).
  5. Tidak mengucapkan janji secara berlebihan dalam rangka menarik massa agar mendukung partainya (baca: QS. 17: 34).
  6. Tetap menjaga ukhuwah Islamiyah, meskipun masing-masing muslim berbeda partai (baca: QS. 49: 10).
  7. Tidak memuji-muji sendiri atau partainya. Akhlak Islam mengharuskan agar suatu partai tidak menganggap dirinya paling baik, Islami, dan sejenisnya. Dan pada pihak lain, ia menganggap partai lain tidak ada yang benar.
  8. Tidak jatuh dalam ghibah, caci maki, dan kata-kata kotor.
  9. Memberikan kemaslahatan bagi bangsa, baik material dan atau spritual.
  10. Dalam aktivitas partainya, selalu ingat akan syariat yang telah diwajibkan oleh Allah SWT.
  11. Memberikan teladan yang baik. Nabi Saw bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling sempurna akhlaknya.”
Dalam hal ini, kiranya patut diteladani sikap politik Hamka –Haji Abdul Malik Karim Amrullah--. Pada pribadinya ada sisi lunak, ada juga sisi kerasnya. Jika sudah menyangkut akidah, Hamka tak kenal kompromi. Ia sangat tegas dan kosisten. Sebagai contoh, misalnya sikap Hamka terhadap perayaan Natal Bersama yang pada tahun 1970-an digalakan pemerintahan Soeharto. Selaku ketua MUI saat itu, Hamka mengeluarkan fatwa yang mengharamkan umat Islam untuk mengikuti Natal Bersama, karena merupakan ritual umat Nasrani. Ketika itu Pemerintah mendesak Hamka agar mencabut fatwanya. Tapi, ia menolaknya. Ia memilih mundur dari jabatan ketua MUI daripada harus mengikuti desakan Pemerintah.

Sikap tegas Hamka itu, tidak lain untuk menjaga integritas pribadinya sebagai ulama. Tepatnya, sikap politik Hamka menunjukkan pribadi yang marwah, punya harga diri. Ia tidak gampang tergoda oleh kekuasaan dan fasilitas. Dan inilah, kelihatannya yang hilang dalam sikap berpolitik kita saat ini.  

Bagaimana menurut Anda?  


Artikel Yang Terkait:

1. Indahnya Berkeluarga dengan Bening Hati

2. Indahnya Bertetangga dengan Bening Hati

3. Indahnya Bermu’amalah dengan Bening Hati

4. Indahnya Berpolitik dengan Bening Hati

5. Indahnya Memimpin dengan Bening Hati

6. Indahnya Menuntut Ilmu dengan Bening Hati



Arda Dinata, pendiri Majelis Inspirasi Alquran dan Realitas Alam/ MIQRA Indonesia, www.miqraindonesia.com 

Arda Publishing House
Pusat Pustaka Ilmu, Inspirasi & Motivasi Menjadi Orang Sukses
Jl. Raya Pangandaran Km. 3 Kec. Pangandaran - Ciamis Jawa Barat 46396
http://www.ardadinata.web.id
WWW.ARDADINATA.COM